Ketika Anda mengajukan pinjaman kredit kepada bank, Anda diminta
untuk memberikan jaminan atau agunan untuk meminimalisasi resiko macet
dan kerugian di pihak bank. Begitu pula jika Anda sedang mengincar
sebuah rumah untuk KPR, Anda meminjam dana kepada bank dengan agunan
rumah yang Anda ingin miliki tersebut. Di kedua kasus di atas, pihak
bank akan melakukan “penilaian” atas rumah Anda, untuk dijadikan dasar
dalam pengajuan kredit Anda tersebut. Biasanya, plafon kredit tidak
akan melebihi nilai agunan, bahkan seringkali dikurangi
safety factor dari bank itu sendiri, misalnya menjadi 70% sampai 90% dari nilai agunan.
Mungkin Anda penasaran bagaimana cara bank menilai harga rumah, atau
rumah Anda baru saja dinilai oleh pihak appraisal atau penilai dan
nilainya ternyata di bawah ekspektasi atau harapan Anda, dan Anda
bertanya-tanya kenapa hal tersebut bisa terjadi. Semoga artikel ini
bisa menjawab pertanyaan Anda tersebut.
Sebenarnya ada tiga pendekatan untuk menentukan nilai sebuah rumah,
tapi agar lebih sederhana, saya akan membahas dua pendekatan saja yang
paling sering digunakan untuk menentukan nilai dari rumah, yaitu
Pendekatan Data Pasar, dan Pendekatan Biaya.
Pendekatan Biaya
Bila Anda pernah melihat laporan penilaian untuk jaminan, hampir 80% laporan penilaian di Indonesia mengikuti rumus berikut ini:
Nilai Pasar = Harga Tanah + Nilai Bangunan dan Sarana Pelengkap Bangunan
Jika itu yang dilakukan, maka Anda sedang
melihat Pendekatan Biaya. Pendekatan ini menganggap nilai rumah Anda
akan sama dengan biaya yang dibutuhkan untuk membeli
tanah yang sebanding dengan rumah Anda, dan membangun bangunan yang
serupa dengan rumah Anda, dengan kondisi yang sama dengan rumah Anda.
Untuk menentukan harga tanahnya, Penilai akan melakukan survey harga
tanah di sekitar lokasi rumah Anda, bertanya-tanya dan memeriksa
database, untuk menentukan berapa harga tanah per meter persegi rumah
Anda. Database penilai sendiri biasanya perlu terus diupdate, jadi jika
data tahun 2011 dipakai tahun 2013, maka hasilnya adalah jaka sembung bawa golok…tidak nyambung. Maka dari itu, penilai akan perlu melakukan update data secara terus menerus.
Misalnya, rumah Anda di lokasi yang tidak
begitu elit, harga tanahnya didapatkan Rp4 juta per meter persegi, dan
luas tanah rumah tersebut 100 meter persegi (ukuran 5 x 20), maka harga
tanahnya saja sudah mencapai Rp400 juta. Anda mengecek NJOP, harga
tanah di NJOP cuma Rp2 juta per meter persegi. Wajar saja, jangan khawatir, penilai yang baik haram hukumnya untuk menggunakan angka NJOP.
Harga Tanah = Rp400 juta
Setelah mendapatkan harga tanah, maka yang
perlu dicari selanjutnya adalah nilai bangunan dan sarana pelengkap
bangunan. Dipisah dua begitu karena ada bank yang mau memasukkan sarana
pelengkap ke dalam agunan dan ada juga yang tidak. Padahal, sebenarnya
kalau definisi real estate adalah tanah dan segala hal
(bangunan, sarana) yang menempel di atas tanah. OK, kembali ke nilai
bangunan. Cara menentukan nilai bangunan juga ada tiga: metode meter
persegi (paling sederhana), metode tambah kurang, dan metode quantity surveyor.
Metode meter persegi adalah yang paling sederhana, paling cepat, dan
paling sering digunakan, tapi penggunaannya secara tepat itu yang sulit.
Sederhananya adalah begini, Anda bisa bertanya kepada Penilai atau
kontraktor atau pemborong atau tukang (yang ahli tapi), berapa kira-kira
biaya membangun rumah tipe Anda. Misalnya rumah Anda bertipe minimalis
(yang sebenarnya hemat biaya jika dibandingkan dengan tipe rumah
lainnya), maka standar biaya membangun adalah Rp3.500.000 per meter
persegi.
Jika rumah Anda dua lantai dan memiliki
luas bangunan 140 meter persegi, maka biaya membangun barunya adalah 140
x Rp3.500.000 = Rp490.000.000. Untuk memudahkan perhitungan, kita
anggap saja Rp490 juta sudah termasuk sarana pelengkapnya seperti biaya
penyambungan listrik PLN sesuai kapasitas, penyambungan air PAM, line
telepon, dan pagar.
Jadi, berdasarkan logika di atas, nilai pasar rumah Anda adalah:
Nilai Pasar = Rp400 juta + Rp490 juta = Rp890 juta
Nah, angka Rp890 juta di atas benar, kalau rumah tersebut baru atau gress, tanpa
cacat sedikitpun. Akan tetapi, misalnya rumah Anda sudah ditempati
keluarga lain selama lima tahun, maka rumah tersebut mungkin akan perlu
pengecatan. Belum lagi kalau ternyata diketahui ada catat dalam
pembangunannya sehingga gentengnya bocor. Biaya-biaya untuk melakukan
perbaikan ini mengakibatkan perbedaan atau selisih antara nilai bangunan
baru dengan nilai bangunan “bekas”. Ini biasanya disebut sebagai
depresiasi. Lagi-lagi, depresiasi ada tiga, yaitu depresiasi fisik,
depresiasi fungsional, dan keusangan ekonomis. Untuk sederhananya,
lagi-lagi, saya bahas yang fisik saja. Biaya pengecatan ulang,
membetulkan genteng, dan mengganti keramik pecah, misalnya memakan biaya
Rp20 juta, maka itulah yang dijadikan depresiasi. Biasanya, bisa juga
depresiasi ini dihitung dari umur bangunan tersebut. Logikanya adalah
semakin tua umur bangunan, maka kondisinya semakin jelek. Tapi tentu
saja dengan perawatan yang baik, keusangan bangunan ini bisa diperlambat
atau paling tidak dipermak. Untuk memudahkan perhitungan misalnya
kondisi bangunan Anda 90%, maka angka Rp490 juta dikali 90% menjadi
Rp441 juta, yang menjadi nilai pasar bangunan.
Maka, nilai pasar rumah Anda adalah:
Nilai Pasar = Rp400 juta + Rp441 juta = Rp841 juta
Angka Rp841 juta ini dilaporkan oleh
Penilai kepada bank dan Anda diberitahukan angka tersebut oleh AO bank.
Eh, ternyata tetangga Anda baru saja menjual rumahnya seharga Rp1
Milyar kepada seorang pengusaha. Dilihat-lihat, karena berada di dalam
satu kompleks, rumah tersebut cuma beda tipis dengan milik Anda, dimana
di rumah tetangga Anda terdapat tanah lebih di belakang yang digunakan
sebagai taman, sedangkan Anda tidak ada. Apakah nilai Rp1 Milyar
tersebut bisa dijadikan patokan? Bisa saja, namanya adalah Pendekatan
Data Pasar tapi cara perhitungannya akan kita sambung minggu depan…